Bahagiaku Ketika Melihatmu Bahagia

Posting Komentar

 


foto saat saya bahagia , dokumen pribadi

 

Terus terang selama seminggu aku mengingat-ingat soal sesuatu kebahagiaanku itu susah banget, aku nggak ngerti apa aku yang telah kehilangan rasa atau mati rasa ya.., atau aku emang nggak pernah bahagia. Jangan dong, kurang bersyukur kalau sampai  tidak mengakui  Tuhan pernah menganugerahkan begitu banyak kebahagiaan  dalam hidupku.

Atau memang antara bahagia dan duka itu batasnya tipis banget , sehingga kadang susah membedakan ini bahagia atau  luka. Ini suka atau duka, atau  bahagia berselimut duka, keduanya saling bertindihan. Bahagia  yang menumbuhkan luka pada sisi lainnya, dan sebaliknya.

Aaah tidak!

Aku juga pernah bahagia  sebelum aku rancu soal bahagia dan duka, yang terus – menerus silih berganti menghias hidupku.

Aah, kenapa sih tidak disuruh menulis soal tidak bahagia saja, biar aku tak kesulitan begini.

Aku lupa mendifinisikan  bagaiamana dulu ketika aku lulus SD, SMP, SMA, bahkan lulus perguruan tinggi, sepertinya semua aku lalui dengan biasa saja. Karena aku tidak pernah istimewa dalam berperestasi di sekolah, di tempat kerja maupun  dalam pergaulan dengan teman-teman. Aku hanya menjadi  orang kebanyakan, atau istiahnya sekarang jadi tim hore, yang hadir dan muncul tanpa pernah diperhitungkan keberadaannya karena tak mempunyai prestasi  atau  keunggulan apapun  dan dalam bidang apapun, hanya sebagai pelengkap saja!

Eh, maaf ya kok malah menjalar kemana-mana , membedah diri sendiri, tapi itulah kenyataan  yang wajib disyukuri.

Dalam pernikahan pun begitu, biasa saja. Walau tetap bersyukur meski terlambat  akhirnya aku punya teman hidup  sampai  sekarang. Suami yang tidak pernah menuntutku agar bisa menjadi ini itu, termasuk menjadi ibu dari anak-anaknya yang tak pernah terlahirkan.

Jadi bahagiaku sekarang adalah bila bisa membuat suami bahagia dan menerima segala kekuranganku, baik dalam melayaninya maupun mendampinginya. Aku bahagia bisa melewati 20 tahun bersama dalam berbagai aral dan cobaan hidup yang bertubi-tubi . Sehingga kita harus berpindah-pindah domisii, untuk mencari kedamaian menjelang usia senja. Hingga akhirnya  sekarang  beban hidup sudah semakin ringan karena tak ada lagi yang kita kejar. Lah buat apa ngejar toh hidup sudah makin ke depan ( dekat dengan kematian).

Masih soal bahagia, aku jadi ingat saat salah satu postinganku kepilih menjadi  salah satu dari 50 nominator yang akan dipilih 25 lagi untuk tokoh dalam postingannya mendapat hadiah berangkat umroh . Dan akhirnya setelah perjuangan untuk mendapatkan banyak    vote sana-sini, tokoh dalam postinganku bisa berangkat umroh  gratis dari perusahaan yang ngadain lomba tersebut. Bahagianya aku bisa turut andil memberangkatkan umroh  pak RT ku yang juga berprofesi sebagai tukang becak.

Turut bahagia melihat pak RT  sekeluarga  bahagia, karena tak disangka-sangka bisa berangkat umroh walaupun profesinya hanya sebagai tukang becak saja.  Saking  bersyukurnya  beliau mengirimiku  ayam ingkung plus nasi sebakul, ada pisang, dan macam-macam kue. Ya ampun, daku  sampai nggak enak sendiri. Tapi bagaimanapun aku  ikut merasakan kebahagiaan keluarga pak RT yang mereka rasakan.

Naah, mudah bukan bahagia itu Cukup membahagiakan orang  lain pasti kamu akan kecipratan bahagia. Nggak salah kan aku...

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI




srisubekti.com
wife ordinary, writer, fiksianer, kompasianer, Content creator

Related Posts

Posting Komentar