Bola Putih di Kanjuruhan

10 komentar

 

bola sumber gambar pinterest.com


 

“Dua puluh menit lagi, Kak!”

“Aku sudah pingin bobok, Pa.. ayo kita pulang”

“Apa kakak nggak ingin lihat tim kesayangan kita menang, sebentar lagi kita menang, Kak. Ayo sini kita ikut memberi semangat pada tim kesayangan kita” Papaku pun melanjutkan teriakannya bersama para Aremania menyenyikan yel-yel untuk memberi semangat pada tim kesayangannya.

Aku hanya duduk diam, menahan kantuk, haus dan lapar. Karena sebelum berangkat ke stadion aku lupa makan saking bersemangat untuk segera berangkat menonton tim kesayangan. Dua gol yang didapat oleh tim kesayanganku membuatku puas, beda dengan papa, sepertinya papa hanya menginginkan AREMA  harus menang. Dengan semangat papa meneriakkan yel-yel:

“ Tinggalkan ras tinggalkan suku, di bawah bendera Singo Edan. Ayo maju-ayo maju AREMA-ku. Jangan kembali pulang sebelum AREMA menang. Walau harus mati di tengah lapang. AREMA, terulah berjuang....” berula-ulang...

Papa bersama seluruh Aremania yang berada di stadion menyanyikan yel-yel itu, suara gemuruh 45.000 orang penonton seolah mengoyang-goyang stadion. Semua berteriak sambil mengoyang-goyangkan tangannya ke atas, bahkan ada yang sambil berdiri memimpin pasukannya agar lebih bersemangat meneriak yel-yel penyemangat AREMA.

Kantukku rupanya tak terpengaruh dengan suara gemuruh para suporter. Kembali aku mengajak papa untuk segera meninggalkan stadion. Apalagi aku lihat sudah ada beberapa pintu yang dibuka, ada  beberapa penonton yang meninggalkan arena stadion Kanjuruhan ini.

“ Pa! Ayo pulang, kalau kita pulang bareng-bareng nanti berebut pintu kita bisa tergenjet, Pa..” Lagi-lagi aku mengajak papa untuk segera keluar stadion. Toh, nanti menang dan kalah pasti kita akan tahu hasilnya dari Aremania lain di tempat parkir.

“ Tunggu sebentar, Kak. Tanggung, Papa yakin kita akan menang, jangan khawatir nanti papa akan gendong kamu, kalau berdesak-desakan. Tunggu sebentar ya. Yuk kita ikut teriakan yel-yel lagi.” Jawab Papa masih tidak bergeming ingin menyaksikan sampai akhir pertandingan, dan tim kesayangannya menang.

Entah kenapa aku membayangkan ada kengerian, ketika peluit panjang ditiup oleh wasit tanda pertandingan usai, rasanya seperti peluit malaikat izroil saja.  Iya, tim kesayangan kita akhirnya kalah. Semua kecewa termasuk papa yang aku lihat bersemangat berteriak-teriak, entah ditujukan kepada siapa.

Para penonton di tribun sepertinya enggan beranjak dari bangku yang didudukinya. Beberapa orang nekat turun ke lapangan kelampiaskan kekecewaannya, mengejar para pemain dan official. Mula-mula sedikit lama-lama banyak juga yang turun, sehingga membuat petugas keamanan gemas untuk menghalau mereka. Karena yang masuk ke lapangan semakin banyak rupanya petugas keamanan semakin gusar, sehingga petugas mulai kasar dan melempar bola-bola putih dari moncong senapannya.

Aku dan papa yang masih ada di tribun mendengar suara ledakan, seolah para petugas keaman itu akan membagikan bola-bola putih bersama-sama, sebagai bentuk terima kasih mungkin. Semua berebut namun ada juga yang menghindar. Mataku terasa pedih, papa melepas kaosnya untuk menutup wajahku. Papa segera mengendongku untuk berlari, entah kemana..

Pedih mataku semakin menjadi-jadi ketika suara gelegar senapan petugas berkali-kali melempar bola-bola putih  yang cukup banyak agar kita tak lagi berebut. Dadaku mulai sesak, aku segera memeluk bola-bola putih itu, aku ingin melayang bersama bola-bola putih agar bisa sampai keluar dari desakan orang-orang yang berebut bola-bola putih itu. Aku semakin erat memeluk bola-bola yang menekan dadaku, terasa sesak namun bola-bola itu tersenyum. Dia berjanji akan segera membawaku ke luar stadion menuju stadion yang sedang membagikan bola-bola emas kepada seluruh penonton yang ada di tribun agar tidak berebut untuk beranjak pulang.

Rupanya papaku telah lemas, sehingga melepaskan aku dari gendongannya. Aku sempat  melihat berteriak agar mereka tidak menginjakku. Namun satu sepatu sempat menghimpitku sehingga bola putihku lepas.

“ Pa, kita ada dimana?”

“Kita sudah pulang, Kak. Selamat tidur panjang beristirahatlah. Nantikan tim kita akan menang di sini saja, sebentar lagi bola emas akan menggantikan bola putih yang kita terima tadi.”

 

 

Kudus, 08- 10- 2022

Sri Subekti

Mantan penyuka bola

srisubekti.com
wife ordinary, writer, fiksianer, kompasianer, Content creator

Related Posts

10 komentar

  1. berkali-kali baca tulisan fiksi tentang kisah di kanjuruhan ini, tapi tetep kerasa sedihnya. duh udah hampir mewek ini, padahal di kantor

    BalasHapus
  2. Terima kasih Mbak Bening, bikin nyesek ya, Mbak...aku pun begitu nyawa manusia seperti tak ada harganya.

    BalasHapus
  3. Ceritanya bikin mau nangis bu. Semoga peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

    BalasHapus
  4. Ceritanya bikin sedih bu, Semoga menjadi PR besar bagi penyelengaraan pertandingan bola selanjutnya.

    BalasHapus
  5. Ahhh sedih bacanya, semoga para korban mendapatkan keadilan, yang melakukan kelalaian segera ditindak dan dihukum setimpal, aamiin, Al Fatihah untuk para korban..

    BalasHapus
  6. baca sampai endingnya nyesek Buk, semoga penyelenggara dapat bekerja lebih professional dan hati-hati ke depannya

    BalasHapus
  7. Sedih jadinya, nih, Bu. Cerita ini seolah membuka mata tentang sebuah rasa yang terpendam dalam peristiwa memilukan itu.

    BalasHapus
  8. Hiks. Bikin mewek, sampai sekarang masih sedih aja kalau mengingat tragedi Kanjuruhan, meskipun nggak langsung ada di TKP, hanya menyimak di medsos

    BalasHapus
  9. Tragedi banget Kanjuruhan itu. Miris lihat korban anak-anak yang ada di sana

    BalasHapus
  10. Ceritanya ngena banget, Bu. Pelajaran berharga bagi orang tua, termasuk saya. Meskipun kejadiannya sudah berlalu tapi kisahnya tidak akan terlupakan di seluruh dunia

    BalasHapus

Posting Komentar