bola sumber gambar pinterest.com |
“Dua puluh menit lagi, Kak!”
“Aku sudah pingin bobok, Pa.. ayo kita pulang”
“Apa kakak nggak ingin lihat tim kesayangan kita
menang, sebentar lagi kita menang, Kak. Ayo sini kita ikut memberi semangat
pada tim kesayangan kita” Papaku pun melanjutkan teriakannya bersama para
Aremania menyenyikan yel-yel untuk memberi semangat pada tim kesayangannya.
Aku hanya duduk diam, menahan kantuk, haus dan
lapar. Karena sebelum berangkat ke stadion aku lupa makan saking bersemangat
untuk segera berangkat menonton tim kesayangan. Dua gol yang didapat oleh tim
kesayanganku membuatku puas, beda dengan papa, sepertinya papa hanya
menginginkan AREMA harus menang. Dengan
semangat papa meneriakkan yel-yel:
“ Tinggalkan ras tinggalkan suku, di bawah bendera
Singo Edan. Ayo maju-ayo maju AREMA-ku. Jangan kembali pulang sebelum AREMA
menang. Walau harus mati di tengah lapang. AREMA, terulah berjuang....”
berula-ulang...
Papa bersama seluruh Aremania yang berada di stadion
menyanyikan yel-yel itu, suara gemuruh 45.000 orang penonton seolah mengoyang-goyang
stadion. Semua berteriak sambil mengoyang-goyangkan tangannya ke atas, bahkan
ada yang sambil berdiri memimpin pasukannya agar lebih bersemangat meneriak
yel-yel penyemangat AREMA.
Kantukku rupanya tak terpengaruh dengan suara
gemuruh para suporter. Kembali aku mengajak papa untuk segera meninggalkan
stadion. Apalagi aku lihat sudah ada beberapa pintu yang dibuka, ada beberapa penonton yang meninggalkan arena
stadion Kanjuruhan ini.
“ Pa! Ayo pulang, kalau kita pulang bareng-bareng
nanti berebut pintu kita bisa tergenjet, Pa..” Lagi-lagi aku mengajak papa
untuk segera keluar stadion. Toh, nanti menang dan kalah pasti kita akan tahu
hasilnya dari Aremania lain di tempat parkir.
“ Tunggu sebentar, Kak. Tanggung, Papa yakin kita
akan menang, jangan khawatir nanti papa akan gendong kamu, kalau
berdesak-desakan. Tunggu sebentar ya. Yuk kita ikut teriakan yel-yel lagi.”
Jawab Papa masih tidak bergeming ingin menyaksikan sampai akhir pertandingan,
dan tim kesayangannya menang.
Entah kenapa aku membayangkan ada kengerian, ketika
peluit panjang ditiup oleh wasit tanda pertandingan usai, rasanya seperti
peluit malaikat izroil saja. Iya, tim
kesayangan kita akhirnya kalah. Semua kecewa termasuk papa yang aku lihat
bersemangat berteriak-teriak, entah ditujukan kepada siapa.
Para penonton di tribun sepertinya enggan beranjak
dari bangku yang didudukinya. Beberapa orang nekat turun ke lapangan
kelampiaskan kekecewaannya, mengejar para pemain dan official. Mula-mula
sedikit lama-lama banyak juga yang turun, sehingga membuat petugas keamanan
gemas untuk menghalau mereka. Karena yang masuk ke lapangan semakin banyak
rupanya petugas keamanan semakin gusar, sehingga petugas mulai kasar dan melempar
bola-bola putih dari moncong senapannya.
Aku dan papa yang masih ada di tribun mendengar
suara ledakan, seolah para petugas keaman itu akan membagikan bola-bola putih
bersama-sama, sebagai bentuk terima kasih mungkin. Semua berebut namun ada juga
yang menghindar. Mataku terasa pedih, papa melepas kaosnya untuk menutup
wajahku. Papa segera mengendongku untuk berlari, entah kemana..
Pedih mataku semakin menjadi-jadi ketika suara
gelegar senapan petugas berkali-kali melempar bola-bola putih yang cukup banyak agar kita tak lagi berebut.
Dadaku mulai sesak, aku segera memeluk bola-bola putih itu, aku ingin melayang
bersama bola-bola putih agar bisa sampai keluar dari desakan orang-orang yang
berebut bola-bola putih itu. Aku semakin erat memeluk bola-bola yang menekan
dadaku, terasa sesak namun bola-bola itu tersenyum. Dia berjanji akan segera
membawaku ke luar stadion menuju stadion yang sedang membagikan bola-bola emas
kepada seluruh penonton yang ada di tribun agar tidak berebut untuk beranjak
pulang.
Rupanya papaku telah lemas, sehingga melepaskan aku
dari gendongannya. Aku sempat melihat
berteriak agar mereka tidak menginjakku. Namun satu sepatu sempat menghimpitku
sehingga bola putihku lepas.
“ Pa, kita ada dimana?”
“Kita sudah pulang, Kak. Selamat tidur panjang
beristirahatlah. Nantikan tim kita akan menang di sini saja, sebentar lagi bola
emas akan menggantikan bola putih yang kita terima tadi.”
Kudus, 08- 10- 2022
Sri Subekti
Mantan penyuka bola
berkali-kali baca tulisan fiksi tentang kisah di kanjuruhan ini, tapi tetep kerasa sedihnya. duh udah hampir mewek ini, padahal di kantor
BalasHapusTerima kasih Mbak Bening, bikin nyesek ya, Mbak...aku pun begitu nyawa manusia seperti tak ada harganya.
BalasHapusCeritanya bikin mau nangis bu. Semoga peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
BalasHapusCeritanya bikin sedih bu, Semoga menjadi PR besar bagi penyelengaraan pertandingan bola selanjutnya.
BalasHapusAhhh sedih bacanya, semoga para korban mendapatkan keadilan, yang melakukan kelalaian segera ditindak dan dihukum setimpal, aamiin, Al Fatihah untuk para korban..
BalasHapusbaca sampai endingnya nyesek Buk, semoga penyelenggara dapat bekerja lebih professional dan hati-hati ke depannya
BalasHapusSedih jadinya, nih, Bu. Cerita ini seolah membuka mata tentang sebuah rasa yang terpendam dalam peristiwa memilukan itu.
BalasHapusHiks. Bikin mewek, sampai sekarang masih sedih aja kalau mengingat tragedi Kanjuruhan, meskipun nggak langsung ada di TKP, hanya menyimak di medsos
BalasHapusTragedi banget Kanjuruhan itu. Miris lihat korban anak-anak yang ada di sana
BalasHapusCeritanya ngena banget, Bu. Pelajaran berharga bagi orang tua, termasuk saya. Meskipun kejadiannya sudah berlalu tapi kisahnya tidak akan terlupakan di seluruh dunia
BalasHapus