Seperangkat Gamelan Bapak

6 komentar

gambar gamelan gasbanter.com


Kami harus segera pindah, rumah ini harus dikosongkan dalam 2 hari ini.  Hal itu membuat aku dan Mas Marto , suamiku kalang kabut. Karena belum mempunyai tempat yang memadai untuk bisa menjadi tempat tinggal kami sementara.
Sebenarnya masih ada waktu sebulan untuk  kepindahan kami ke luar pulau, karena Mas Marto mendapat pekerjaan baru di Kalimantan. 
Sedangkan rumah ini telah menjadi sengketa keluarga besar Bapak, ternyata sudah terjual sebulan yang lalu tanpa sepengetahuan kami yang menempati rumah ini. Kemarin pembeli sudah datang ke sini dan memberi waktu 3 hari kepada kami untuk segera pindah. Mungkin kalau tidak mempunyai barang sebanyak ini, aku tidak perlu susah payah. Sebenarnya sih, bukan barang-barang kami pribadi. Tapi lebih banyak barang-barang peninggalan Almarhum ibu bapakku. Yang semua bernilai sejarah bagi keluarga besar kami. 
Setelah semua kakakku menikah dan mempunyai rumah sendiri tidak ada yang mau membawa serta barang-barang keluarga peninggalan orang tua kami. Walaupun mempunyai nilai jual karena termasuk barang kuno, namun bapak ibu dulu sudah berpesan agar jangan menjualnya barang-barang peninggalan turun temurun ini. Termasuk diantaranya seperangkat gamelan, alat musik tradisional Jawa yang menjadi kebanggaan bapak pada waktu itu. 
Kami bisa saja kontrak sementara sebelum pindah ke Kalimantan. Yang menjadi beban pikiranku adalah seperangkat gamelan, peninggalan Almarhum bapak. Dimana aku harus menyimpan. Karena untuk barang-barang lain seperti almari kuno, meja-kursi dan ranjang kayu jati tua sesuai kesepakatan akhirnya kami jual. Namun tidak untuk seperangkat gamelan ini. Karena gamelan ini mempunyai nilai historis yang sangat tinggi bagi keluarga besar turun temurun, gamelan ini sudah mengandung ruh keluarga. 
Masih ada waktu dua hari untuk memikirkan, bagaimana gamelan ini akan disimpan. Aku sudah bernego dengan salah satu sekolahan SMP yang letaknya tidak jauh dari rumah ini. 
“ Maaf Bu, sekolah tidak mempunyai tempat untuk meletakkan gamelan. Dan kami juga tidak mempunyai guru yang bisa memakai dan mengajarkan gamelan pada siswa” begitu penolakan halus Kepala Sekolah waktu aku menemuinya kemarin. 
Aku juga mendatangi sanggar tari, yang ada di kota kami. Namun jawabannya sama saja. 
“Kami sudah punya sendiri seperangkat gamelan yang masih baru, Bu..” kata pengurusnya. “Kami tidak mempunyai tempat untuk menaruh kalau ada seperangkat gamelan lagi, itupun hanya beberapa orang saja yang mau belajar menabuh gamelan. Jadi secara hitungan ekonomi kami rugi kalau menambah gamelan lagi”. 
Sudah sebulan ini aku berkeliling dari sekolah ke sekolah, ke sanggar-sanggar seni dan juga komunitas pecinta kebudayaan. Namun hasilnya nihil.
Padahal kami tidak akan menjualnya, hanya menitipkan sementara dan silakan dipergunakan. 
Rupanya sudah sulit menemukan orang yang bener-bener mencintai kesenian Jawa, khususnya memainkan gamelan. 

**** **

Malam ini menjadi dua malam terakhir kami tinggal disini, sebagian barang-barang sudah dipindah ke rumah kontrakan yang baru. Hanya tinggal gamelan dan barang-barang di kamarku yang belum dipindahkan. 
Mataku tak bisa terpejam, rasanya tidak rela meninggalkan rumah tempat aku lahir, tumbuh dan menikah disini. Seribu kenangan tersimpan di rumah ini. Memang rumah ini sudah dibilang tidak laik huni, beberapa kayu, jendela, dan daun pintu sudah lapuk dimakan rayap. Genting di bagian belakang juga sudah banyak yang lepas, kalau hujan air membanjiri ruang belakang rumah ini. 
Dulu pada waktu aku masih kecil, rumah ini termasuk yang paling bagus diantara rumah tetangga di desa ini. Berdinding kayu ukir dan tembok sebagian dengan lantai marmer yang berkilau, dan jendela lebar yang bisa pasang-lepaskan. Bahkan bagian kayu dinding depan bisa dilepas bila sedang ada hajatan atau perkumpulan di rumah kami. 
Karena rumah kami termasuk paling luas halamannya di kampung ini, jadi segala macam kegiatan sering diadakan di rumah ini. 
Selain menjadi perangkat desa, bapak juga mengajar kerawitan ( memainkan alat musik tradisional Jawa / gamelan) kepada siapa saja yang mau belajar, tanpa dipungut bayaran. 
Hanya sekali tempo bila sedang diadakan bancaan, para murid membawa jajanan  yang dia punya untuk dimakan bersama. Kadang-kadang bapak diundang untuk pentas mengiringi tarian Jawa, atau tembang-tembang Jawa di tempat orang hajatan, atau acara-acara formal lainnya. 
Namun bertambahnya waktu, gending-gending Jawa dan suara gamelan semakin kurang diminati. Mereka lebih memilih orgen tunggal atau suara tape recorder, daripada suara gamelan asli yang dinilai ribet dan ketinggalan jaman. 
Sejak aku masih kecil, bapak sudah mengenalkan padaku bagaimana cara memainkan gendang, peking, demung, saron, bonang, kenong, gong dan slenthem. Sambil nembang Khinanti, Pangkur, Pucung atau Dhandanggula. Namun aku kurang begitu telaten, sehingga tidak begitu mahir seperti bapak. Apalagi kesibukanku sekolah mulai banyak menyita waktu , sehingga waktu berlatih kerawitan bersama bapak semikin berkurang. Bahkan sering tidak sempat sama sekali. 
Bapak begitu sabar mengajarkan, hingga kami bisa memainkan satu persatu alat musik gamelan. 
“Yen ora kowe sing neruske trus sopo meneh, Nduk” Begitu permintaan bapak pada waktu itu. Bila aku malas belajar kerawitan. 
Sebenarnya semua putra bapak juga diajari, tetapi hampir semua kakakku yang laki-laki melanjutkan sekolah ke kota selepas SMP, dan jarang berkesempatan pulang dan belajar kerawitan pada bapak secara leluasa. Dua mbakyuku juga sudah menikah dan tinggal di luar kota bersama keluarganya, padahal mereka belum belajar gamelan dengan sungguh-sungguh. 
Hanya bapak yang masih setia pada gamelannya. Terkadang sampai malam bapak memainkan saron sambil nembang Dhandanggula , atau memainkan demung sambil nembang Pangkur. 
Suara gamelan sudah menjadi musik pengantar tidur kami sehari-hari. Bunyi gamelan itu seolah menyuarakan hati bapak yang paling dalam. Apalagi tembang-tembang yang dilantunkan bapak, syarat makna yang dalam untuk kehidupan. Seolah-olah bapak sedang memberi nasehat kepada kami, bila sedang memainkan gamelan dan nembang Jawa. 
Seiring bertambahnya waktu jenis musik campursari berkembang dan diterima masyarakat yang cenderung lebih suka kepraktisan dan hinggar-bingarnya. Apalagi jenis musik setengah dangdut ini lama-kelamaan semakin lebih disukai masyarakat. 
Gamelan semakin tersisih, seperti kehidupan kami. Bagai kata-kata dalam tembang pangkur yang seling dilantunkan bapak. 
“Mingkar-mingkuring angkara- Akarana- Karenan mardi siwi- Sinawung resmining kidung- Sinuba sinukarta-Mrih kretarta- pakartine ngelmu luhung- Kang tumrap ning tanah Jawa- Agama ageming aji... 
Jinerjening Wedhatama – Mrih tan kemba- kembanganing pambudi- Mangka nadyan –tuwa pikun- Yen tan mikani rasa-Yekti sepi- asepa lir- sepah samun- samangsane pasamuan- Gonyak-ganyuk nglelingsemi- Nggungu karsane priyangga- Nora ngganggo peparah lamun angling- Lumuh ingaran ba...lilu. Uger gu..ru a..leman- Nanging janma- ingkang wus was padeng semu- Sinamun ing samu ..dana- sasadone adu manis”.  (Terjemahan) Menghindari sifat jahat, sebab senang membimbing anak, dirangkum ke dalam sebuah kidung, dihormati dan dimuliakan, supaya tercapai maksud dari ilmu luhur, bagi tanah Jawa, agama adalah busana berharga. Disusun di ajaran utama, tidak boleh malas bermandikan budi kebaikan, maka walaupun tua dan pikun, kalau tidak mengolah rasa, sungguh sepi dan hampa seperti sampah tersembunyi, ketika diperkumpulan, serba canggung dan memalukan. 

Tembang Pangkur itu seolah terdengar nyaring dengan sayup-sayup alunan demung mengiringi. Aku merasakan bapak hadir malam ini. Seolah bapak sedang memberiku semangat agar aku mendapatkan jalan keluar untuk seperangkat gamelan ini besok pagi. 
Sayup-sayup kokok ayam terdengar dari kejauhan, pertanda Adzan subuh segera terdengar. Walau mata berat dan badanku terasa tertikam gada, aku harus segera bangun untuk mengemasi barang-barangku. 
Pagi ini aku menyewa Colt Pick-up untuk mengangkut barang-barang yang masih tersisa. Rasa sedih dan berat meningalkan rumah ini harus segera aku hapus. Karena pembeli akan segera merobohkan rumah ini, dan mengganti dengan bangunan baru yang tentu akan berkesan mewah dan modern. 
Semua cerita tentang rumah ini, mungkin juga hanya akan tersisa sebagai kenangan saja kecuali di lubuk hatiku yang akan lekat sepanjang hidupku. 


****** 

Ketika sedang sibuk mengemas barang-barang untuk dinaikan ke mobil, ada sebuah mobil masuk ke halaman. 
Aku kira pembeli rumah ini, ternyata tidak. 
“ Selamat pagi, Bu” 
“Selamat pagi juga, Pak. Ada apa ya?” 
“Saya dari Keluarga Soelarso, apa benar ibu mau menjual seperangkat gamelan?”  tanya tamu tersebut kepadaku. 
“Maaf, Bapak. Saya tidak akan menjual gamelan tetapi menitipkan sampai batas waktu perjanjian nanti, dan silakan gamelan dipergunakan dan manfaatkan” , aku memberi penekanan agar tidak terjadi salah persepsi dengan gamelan bapak ini. 

Karena bagaimana pun aku harus bisa memegang amanat bapak, untuk tidak menjual gamelan ini dalam keadaan sesulit apapun.
“ Baiklah, Bu. Saya setuju. Nanti kita bikin surat perjanjian. Saya akan memanggil armada untuk mengangkut gamelan Ibu. Ibu bisa ikut kami, agar tahu kenama gamelan ini dibawa”  . Alhamdulillah ternyata tamu tersebut mengerti keadaan kami.
“ Iya, Bapak. saya setuju dan mengucapkan terima-kasih. Kami akan mengemasi barang-barang ini dahulu. Kemudian baru memberesi gamelan itu.”Kataku sambil menunjuk barang-barang yang sedang kami angkut ke atas mobil.  
“Ibu tidak perlu kwatir, saya bisa menyuruh beberapa orang untuk mengemasi dan menaikan gamelan itu ke truck yang telah kami sediakan.” 
“Terima kasih, Pak.” 
“Bila ibu membutuhkan dan akan mengambil gamelan ini kembali, kami juga siap melepaskannya sewaktu-waktu. Nanti ada dalam Surat Perjanjian ini.” 
“Baik, Pak. Saya setuju dan mengucap terima kasih .” 
“Apakah ibu setuju, bila ibu mengajarkan cara memainkan gamelan itu kepada kami, agar kami bisa mempergunakan gamelan ini dengan baik” 
“ Baiklah, Pak. Saya hanya punya waktu 1 bulan sebelum pindah ke Kalimantan, untuk mengajar kerawitan pada keluarga Bapak” 
“ Ibu jangan kuatir, kami akan memberikan imbalan atas jasa ibu mengajar kami” “Alhamdulillah, apabila semua dari kerelaan Bapak, karena saya tidak mau menjual jasa untuk sesuatu yang sangat berharga dalam hidup kami”
 “ Jangan kuatir, Bu. Kami hanya memberi sekedar ucapan terima kasih” 

Gamelan bapak akhirnya mendapat tempat dan orang yang tepat untuk merawat dan mempergunakan sebagaimana mestinya. Aku juga tidak menyangka keluarga Soelarso itu mentransfer uang sebegitu banyak sebagai ucapan terima kasih karena aku telah mengajarkan cara memainkan gamelan  sekaligus mengajarkan beberapa tembang Jawa yang dulu diajarkan Bapak kepadaku. 
Akhirnya kami mendapat generasi penerus untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa yang dulu sangat diwanti-wantikan bapak kepada kami. Walaupun kami tidak mempunyai ikatan keluarga, namun saya menganggap keluarga Bapak Soelarso sebagai keluarga baru kami. 
Semoga musik tradisional tidak punah tergerus jaman.Masih ada anak cucu yang masih tetap mencintai musik tradisional walaupun keadaan sudah berubah.

Kudus 11 Desember 2020

Salam hangat, salam fiksi

Sri Subekti Astadi
srisubekti.com
wife ordinary, writer, fiksianer, kompasianer, Content creator

Related Posts

6 komentar

  1. Seru mba ceritanya. Jadi inget pas SMP aku belajar karawitan megang bonang. awalnya susah , pas udah bisa berasa mo nyombong hihihi. Bangga aja gitu, wlau gurunya galaknya amit-amit, jadi kenangan tersendiri. Makasih mba cerpennya jadi membangkitkan kenangan masa lalu.^^

    BalasHapus
  2. Betul ya mbak, jaman sekarang udah jarang yang masih mencintai musik tradisional, udah pada tergantikan dengan alat musik modern😅

    BalasHapus
  3. Gamelan sekarang kurang di minati anak2 muda kenapa ya? Dulu di sekolah pasti ada pelajaran kesenian khusus belajar gamelan sekarang masih ada ga sih?

    BalasHapus
  4. Baca cerita gamelan ini aku dulu pernah diajarin gamelan di SMA, tapi bukan gamelan jawa, lebih khas sunda karena sekolah ku di tanah sunda. Sekarang emang sulit yang suka gamelan ya, semoga budayanya tetap lestari

    BalasHapus
  5. Suka banget cerita ini Bu, sarat makna..pengen bangat bisa belajar musik tradisional sayang banget kalau punah...

    BalasHapus
  6. Cerita yang menginspirasi. Apalagi ada unsur budaya. Suka dengan musik tradisional. Sukses mbak ceritanya

    BalasHapus

Posting Komentar