Tentang Rumah yang Kesepian

19 komentar

 

rumah adat Kudus


 

Sudah berbulan-bulan sepi sekali disini , hanya seorang lelaki kurus yang setiap hari menyapu lantaiku. Dinding-dinding yang terbuat dari ukiran kayu tak pernah lagi disentuh, dicuci ataupun sekedar dilap seperti dulu. Hingga terasa gatal-gatal tubuhku. Kemana orang-orang yang dulu ramai menghuni setiap bilikku.

Yang aku ingat mereka satu per satu pamit meninggalkan aku, Entah kemana mereka. Padahal aku ingat betul bagaimana dulu mereka satu per satu dilahirkan disini. Aku yang menjadi saksinya. Bagaimana ibu mereka mulai hamil, dan melahirkan di sini di rumah ini. Satu persatu mereka lahir ada tujuh aku menghitungnya.

Dulu lantaiku masih dingin terbuat dari batu alam, tapi karena anak-anak mereka suka bermain di lantai , mereka menggantinya dengan keramik  putih, bikin aku tambah terang namun licin. Ketika sang istri mengandung anaknya yang ke 8 terjatuh dan darah mengalir , dan dibawa ke rumah sakit. ‘ Ibu miskram” itu yang aku dengar ketika anak pertama mereka bertanya perihal ibu mereka.

Dindingku dulu masih kayu ukir utuh, sehingga aku tampak cantik. Dengan bertambahnya usia,  satu persatu, dinding kamar diganti dengan tembok yang rapat, entah apa alasannya. Karena aku tahu setelah itu mereka kepanasan bila ada di dalam. Tak lama kemudian mereka menempeli bagian tubuhku dengan AC. Padahal kalau aku tetap dibiarkan berdinding kayu, udara akan bebas keluar masuk dan mereka tidak kegerahan.

Yang paling aku tidak suka, pohon manga dan Jambu yang dulu menaungiku dari sisi barat rumah mereka tebang. Dengan alasan mengurangi sampah dari daun yang berguguran. Padahal setelahnya aku jadi kepanasan. Dinding-dindingku cepat kusam.

Aku yang menjadi saksi lucunya anak-anak mereka, bila bermain petak umpet, suka bersembunyi diantara daun telinga, eh daun pintuku. Aku menghalangi pandangan adiknya, hingga tak juga menemukan  kakaknya, sampai akhirnya adik menangis.

Ketika satu persatu anak-anaknya mulai remaja, sang gadis suka diapeli pacarnya. Aku pingin ketawa sendiri melihat sang Gadis malu-malu tangannya digenggam pacarnya. Bahkan aku melihat bagaimana si pria itu berusaha mencium gadis, sebenarnya aku ingin menghalangi. Namun apalah aku ini.

Bapaknya suka marah-marah bila gadisnya telat pulang, bahkan sang bapak pernah melempar sapu ketika, ketahuan gadisnya dicium di halaman rumah yang penuh bunga sepatu. Aduh!  Hampir saja sapu itu mengenaiku. Dindingku bisa lecet..sakit dong..

Satu persatu bangunan ditambah di kanan kiriku, karena putra putri mereka sudah butuh kamar sendiri-sendri katanya. Sedang aku tak bisa menampung keriuhan mereka lagi. Namun aku suka, aku bahagia, setiap hari ada yang menemaniku, membersihkanku, entah itu pembantunya, ibu bahkan kadang gadisnya yang cantik-cantik itu.

Yang membuatku sedih, ketika satu persatu mereka menikah. Dan pergi meninggalkan aku. Pastilah mereka ikut suaminya, atau mempunyai rumah sendiri.

Namun aku tetap suka di hari minggu mereka yang dulu gadis-gadis cantik itu, pulang  membawa cucu yang lucu-lucu. Aku tetap ramai walau hanya seminggu sekali. Walaupun begitu aku mulai terasa sepi, di hari-hari lain.

Walau tak seramai dulu lagi, kini aku semakin diperhatikan dan dirawat tuanku yang katanya sudah pensiun.  Tuanku semakin rajin membersihkan aku, mengecat, dan menjumputi sarang laba-laba yang ada saja disetiap tubuhku yang semakin renta ini.

Aku sedih ketika melihat Tuan terjatuh saat membetulkan genting di atasku. Tampaknya tuan agak parah sehingga lama di bawa ke rumah sakit. Beberapa minggu tak melihatnya. Hatiku sangat pilu, ketika sepulang dari rumah sakit, tuanku tak lagi bisa berjalan biasa, kemana-mana tuan harus menggunakan kursi roda . Kasihan.

Sejak itu, aku serasa menjadi sebuah rumah sakit. Ada saja perawat, bau obat-obatan dan suara erangan kerap muncul di dalamku.

Aku sedih bukan kepalang ketika akhirnya sang Tuan meninggal. Kini aku hanya dihuni istri dan seorang pembantu. Aku dengar semua anaknya sudah berdomisili di luar kota dan jarang pulang menenggok ibu mereka. Bagaimana pun aku tetap senang melihat tuan ibu tetap sehat , bersemangat menjalankan bisnis pembuatan batik di sini. Ada beberapa karyawan yang tiap hari datang untuk membatik, menjahit dan bekerja disini. Silih berganti orang-orang yang datang disini.

Tahun demi tahun berganti, kesehatan tuan ibu, juga semakin berkurang . Aku melihatnya sendiri tuan ibu sering tak bisa tidur, gelisah dan kesepian. Tujuh anak yang dilahirkan tak ada yang bersedia menemaninya disini. Hanya sebulan sekali mereka bergiliran datang. Seorang pembantu, dan seorang perawat dikirim untuk ibu mereka.

Kesepian terus dan terus menggerogoti kesehatan tuan ibu, hingga ibu jatuh pingsang dan dibawa ke rumah sakit. Saat itu aku melihat semua putra-putrinya pulang. Namun, tampaknya mereka tergesa-gesa, mungkin mereka meninggalkan tugas di luar sana. Hingga akhirnya tuan ibu dipanggil yang kuasa, rasa haru, sepi dan kehilangan aku rasakan begitu mendalam.

Kini aku sangat kesepian. Hanya lelaki yang kurus itu, yang setiap hari membersihkanku dengan ogah-ogahan. Terus terang aku cemburu dengan bagunan kecil diujung sana. Walau tak seluas aku, dia tak pernah kesepian. Karena beberapa anaknya yang telah menikah tetap ditinggal disitu. Ada saja suara tangis, tertawa dari cucu-cucu mereka.

Atau bangunan di depanku persis, yang sepantaran dengan umurku pembuatannya. Walau bapak ibunya juga telah tiada  seorang anaknya masih tinggal disana bersama suami dan anak-anaknya. Walau tak semewah aku, bangunan itu tampak selalu ceria , terang dan mengasyikkan.

Entah apa salahku, hingga tak  ada lagi yang mau tinggal bersamaku disini. Dan membiarkanku merana, sedih menjadi kenangan belaka.

Nasibku rumah tua, walau ada yang berkata hargaku sampai milyaran rupiah, namun aku hanya kenangan, hanya pajangan. Kesepian yang akhirnya merapuhkanku bersama rayap-rayap itu.

 

Kudus, 27 November 2020

Salam hangat

Sri Subekti Astadi

srisubekti.com
wife ordinary, writer, fiksianer, kompasianer, Content creator

Related Posts

19 komentar

  1. Setiap kata-kata dari cerita ini dipilih dengan begitu apik, lagi-lagi aku bisa membayangkan vibes di rumah tersebut Mbak. Suka!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih apresiasinya, Mbak Ibel...sukses selalu ya..

      Hapus
  2. pemilihan diksinya keren (tp,gak blh komen gitu doang ya 🤭 tp,emg bagus sih 🤫)...dibanding tulisanku yg berantakan 🤭 the best lah bu!!!

    BalasHapus
  3. Menjadi kesepian saat tua adalah ketakutan setiap yang dewasa. Hiks..ini cerita mengandung bawang ya kak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya..Mbak, semakin tua kita akan semakin merasakan sepi..apalagi klo anak2 sudah sibuk dengan kehidupannya masing2..
      Salam hangat Mbak Anne..

      Hapus
  4. Saya sedih bacanya mbak :( seorang ibu bisa membesarkan dan merawat ketujuh anaknya, tapi belum tentu ketujuh anaknya tersebut bisa menyayangi dan merawat seorang ibunya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naa..itu , Mbak... anak-anak kadang membiarkan ibunya kesepian, dan ibu juga sering tidak mau meninggalkan rumah yang penuh kenangan sampai akhir hidupnya..
      terima kasih apresiasinya Mbak Indah..

      Hapus
  5. Ceritanya kena banget, yang paling aku suka itu diceritakan dengan sudut pandang dari sebuah benda mati - rumah. Dan aku terbawa suasana pas bacanya, ngebayangin rumahnya gimana, kejadiannya gimana, bagus mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. bermula dari lihat rumah2 di gangku ini banyak rumah kosong, aku jadi sedih padahal rumah 2 itu masih bagus dan luas, sedangkan aku lihat di gang2 sempit banyak rumah kecil2 dengan penghuni yang banyak..jadinya sedih. Ruh rumah jadi hilang..
      Terima kasih apresiasinya, Mbak..

      Hapus
  6. Benda2 yg kita anggap tidak hidup, sesungguhnya punya nyawa. Aku punya keyakinan itu. Jadi membaca kisah ini, aku bisa berempati, seandainya kisah ini nyata. Sebuah rumah punya roh karena perhatian dan kasih sayang penghuninya 🏘 it's not how big the house is; it's how happy the home is

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya..Mbak, aku sedih bila melihat rumah2 bagus tapi ditinggalkan pemiliknya dibiarkan kosong begitu saja... cahaya rumah jadi ilang, ruhnya pergi dan rumah jadi cepet rusak..
      terima kasih apresiasinya..

      Hapus
  7. Bagus banget bu penggambaran rumahnya jadi seolah hidup di tangan penulisnya...suka idenya, rumah yang ditinggalkan jadi suram dan sepi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini bermula pada kesepian yang ada di lingkungan rumahku, Mbak...
      sedih rasanya lihat rumah2 kosong..

      Hapus
  8. Selalu suka cerpennya Bu, ada lomba cerpen tema bebas kayaknya saya lihat di Instagram. Coba saya Carikan ya biar bisa ikutan lombanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih Mbak Dewi...yang selalu memberi inspirasi padaku..

      Hapus
  9. Halo mbak, salam kenal ya. Wah, cerita si rumah yang menjadi saksi bisu keluarga nahagia nih :) Kok aku merinding ya bacanya. Berasa banget seandainya akulah si rumah itu. Rumah menjadi kenangan anak2nya ydang sudah menikah dan pindah :) Sedih :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih banyak Mbak Nurul, duuh bahagia banget looh..bloggku yang acak kadut gini dikunjungi Mbak Nurul. Terima kasih banget apresiasinya, Mbak.. salam hangat yaa

      Hapus

Posting Komentar